A.
Latar Belakang
Perkembangan sistem kepartaian di Indonesia, yang
disertai dengan banyaknya berbagai aspirasi-aspirasi dari masyarakat yang tidak
dapat dikoordinir dengan baik, dengan sendirinya menyebabkan banyaknya
usaha-usaha dari para elite politik yang berkuasa untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok diatas kepentingan rakyat.
Banyaknya kasus KKN yang masih tak terselesaikan di negeri ini salah satunya
adalah akibat dari sistem partai politik yang diterapkan di negeri ini dinilai
tidak sesuai. Banyak negara yang pada dasarnya mempunyai sistem yang sama
dengan Indonesia, tapi sistem kepartaian negara tersebut mampu menyatukan
berbagai aspirasi menjadi satu kesepakatan bersama yang mengutamakan
kepentingan rakyat. Dari sudut pandang ini, jumlah partai sangat menentukan
keefektifan partai politik pada suatu negara dalam mengkoordinir berbagai aspirasi
yang mengutamakan kepentingan masyarakat banyak atau rakyat. Sistem kepartaian
yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama,
melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat
mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua,
mengcakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi,
yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem
politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan
organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna
mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.
B.
Rumusan Masalah
- Apakah sistem kepartaian yang dianut
oleh negara Indonesia sudah sesuai jika di kaitkan dengan pemerintahan
presidensial?
- Apakah sistem dwi partai bisa di anut di
Indonesia?
PEMBAHASAN
A. Sistem
Kepartaian Negara Indonesia Sekarang
Indonesia telah menjalankan sistem multi partai
sejak Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta
No X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multi partai di Indonesia.
Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu
yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut diikuti oleh 29 partai
politik dan juga peserta independen (perseorangan). Beberapa partai politik
yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama antara lain PNI (22,32%),
Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%), PSII (2,89%), Parkindo (2,66%),
PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan IPKI (1,43%).
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967
partai politik dianggap sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang
terjadi pada tahun 1950an – 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk
menciptakan pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai
politik. Pada pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai
politik, termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan
kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai
politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan
partai-partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai politik tersebut
adalah munculnya tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP merupakan
hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi,
PSII dan Perti). PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis
dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah
partai politik bentukan pemerintah Orde Baru.
Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang
berkembang di Indonesia pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara
yang menganut sistem multi partai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa
sistem kepartaian yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal.
Ada juga yang menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai
dominan. Hal ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada
pada saat itu. Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua
parpol sehingga dapat dikategorikan sebagai sistem multi partai. Namun jika
dianalisis lebih mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di
dalam pemilu tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari
pemerintah untuk selalu memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.
Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil
liberalisasi disemua sektor kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di
bidang politik. Salah satu reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik yang dianggap mampu
merepresentasikan politik mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai
politik warisan Orde Baru dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia
yang sesungguhnya. Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di
dalam masyarakat. Dari ratusan parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak
mengikuti pemilu 1999. Pemilu 1999 menghasilkan beberapa partai politik yang
mendapatkan suara yang signifikan dari rakyat Indonesia adalah PDI.Perjuangan,
P.Golkar, PKB, PPP, dan PAN.
Peserta pemilu tahun 2004 dan 2014 berkurang
setengah dari jumlah parpol pemilu 1999, yaitu 24 parpol. Berkurangnya jumlah
parpol yang ikut serta di dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah
diberlakukan ambang batas (threshold). Ambang batas tersebut di
Indonesia dikenal dengan Electoral Threshold. Di dalam UU No 3/1999
tentang Pemilu diatur bahwa partai politik yang berhak untuk mengikuti pemilu
berikutnya adalah partai politik yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah
kursi DPR. Partai politik yang tidak mencapai ambang batas tersebut dapat
mengikuti pemilu berikutnya harus bergabung dengan partai lain atau membentuk
partai politik baru.
Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol
yang mendapatkan suara signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET).
Meskipun persentasi ET dinaikan dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu
2004 menghasilkan lebih banyak partai politik yang mendapatkan suara signifikan
dan lolos ET untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang
mencapai ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah P.Golkar, PDI.
Perjuangan, PKB, PPP, P.Demokrat, PKS, dan PAN.
B. Kelebihan
dan Kekurangan Sistem Kepartaian
Klasifikasi sistem kepartaian jika dilihat dari
segi komposisi dan fungsi keanggotaannya maka partai politik dapat dibagi
menjadi dua jenis; partai massa dan partai kader. Jika dilihat dari segi sifat
dan orientasinya partai politik dibagi dua jenis; partai lindungan dan partai
ideologi atau azas. Di dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik yang ditulis Prof.
Miriam Budiardjo sistem klasifikasi kepartaian yang lebih banyak digunakan
dalam ranah demokrasi yakni :
1. Sistem Partai
Tunggal
2. Sistem Dwi Partai
3. Sistem Multi Partai
1. Sistem
Partai Tunggal
Sistem partai tunggal ini merupakan satu-satunya
partai dalam suatu negara, maupun partai yang mempunyai kedudukan dominan
diantara beberapa partai lainnya. Pola partai tunggal terdapat dibeberapa
negara Afrika (Ghana dimasa Nkrumah, Guinea, Mali, Pantai Gading), Eropa Timur
dan RRC. Suasan kepartaian dinamakan non-kompetitif oleh karena itu
partai-partai yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan
tidak dibenarkan bersaing secara merdeka melawan partai itu.
Negara yang paling berhasil untuk meniadakan
partai-partai lain ialah Uni Soviet. Partai komunis Uni Soviet bekerja dalam
suasana yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang boleh bersaing, ataupun
yang ditolerir. Oposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai tunggal serta
organisasi yang bernaung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak
masyarakat dan menekankan perpaduan dari kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Sistem partai tunggal mengandung kelemahan-kelemahan dalam parkteknya
antara lain:
1. Sistem partai tunggal
tidak pernah akan menjamin adanya perlindungan terhadap HAM, mengingat didalam
sistem ini selalu berbarengan dengan sistem kediktatoran dimana kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif berada pada satu tangan sehingga
pelaksanaan kekuasaannya itu berlaku sewenang-wenang. Kecenderungan lain adalah
sistem partai tunggal ini terkadang membawa bencana bagi kelangsungan demokrasi
baik bagi rakyat, bangsa, maupun negara. Hal ini bisa dilihat dinegara-negara
komunis. Demikian pula halnya sistem partai tunggal yang berdasarkan pada azas fasisme
seperti Italia Musolini dan faham Naziisme seperti Jerman Hitler.
2. Tidak tercapainya
perwujudan masyarakat yang sejahtera. Hal ini bisa dilihat pada pemerintahan
Khmer Merah Kheu Sampan di Kamboja atau Pemerintahan Mao Tse Tung di Cina
dimana rakyat banyak yang sengsara.
3. Tidak adanya sistem
kontrol sosial.
4. Sistem partai tunggal
tidak mengakui doktrin-doktrin politik demokrasi yang berlaku dinegara-negara
liberal ataupun negara demokrasi lainnya.
5. Sistem partai tunggal
tidak mengakui adanya konstitusi yang bersifat filsafat negara demokratik,
struktur organisasi negara, perubahan terhadap konstitusi negara dan hak azasi
manusia.
6. Sistem partai tunggal
tidak mengakui adanya kebebasan pers.
7. Rakyat tidak mempunyai
pilihan lain dalam mengemukakan pendapat dan hak-haknya.
2. Sistem Dwi Partai
Sistem dwi partai atau dua partai merupakan adanya
dua partai dalam sebuah negara atau pemerintahan atau adanya beberapa partai
tetapi dengan peranan dominan dari dua partai. Partai-partai ini terbagi
kedalam partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilu) dan partai oposisi
(karena kalah dalam pemilu).
Sistem dwi partai biasa disebut dengan istilah “a
convenient system for contented people” dan memang kenyataannya sistem dwi
partai dapat berjalan dengan baik apabila terpenuhi tiga syarat; komposisi
masyarakat adalah homogen, konsesus dalam masyarakat mengenai azas dan tujuan
sosial yang pokok adalah kuat, dan adanya kontinuitas sejarah.
Negara-negara yang menganut sistem dwi partai ini
adalah Inggris dengan partai Buruh dan partai konservatifnya, Amerika dengan
partai Republik dan partai Demokrat, Jepang, dan Kanada. Sistem dwi partai
umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem pemilihan distrik (single-member
constituency) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu
wakil saja. Sistem dwi partai ini mempunyai kecenderungan untuk menghambat
pertumbuhan dan perkembangan partai-partai kecil.
Kelebihan sistem dwi partai ini antara lain:
- Dalam sistem distrik suara pemilu yang
dihasilkan selalu suara mayoritas,
- Terwujudnya stabilitas pemerintahan yang
dapat berjalan sesuai dengan kurun waktu yang telah ditetapkan,
- Pergantian pemerintahan dalam sistem ini
dengan pemilu sistem distrik cenderung berjalan normal,
- Program-program pemerintah dapat
berjalan dengan baik,
- Adanya keterikatan pada konstitusi
negara.
3. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai adalah adanya partai-partai
politik yang lebih dari dua partai dalam sebuah negara atau pemerintahan.
Sistem ini banyak dianut oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia,
Belanda, Perancis, Swedia, dsb. Sistem ini lebih menitikberatkan peranan partai
pada lembaga legislatif sehingga peranan badan eksekutif sering lemah dan
ragu-ragu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak ada satu partai yang cukup kuat
untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi
dengan partai-partai lain.
Beberapa kelemahan sistem multi partai ini antara lain:
- Pemerintahan selalu dalam keadaan tidak
stabil,
- Program-program pemerintah kurang
berjalan dengan efektif,
- Ideologi partai politik tidak lagi
melandasi konstitusi negara atau falsafat hidup suatu bangsa, Sistem ini
cenderung lamban dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi makro maupun
mikro,
- Sistem ini mengurangi fungsi
nasionalisme dalam suatu negara,
- Sistem ini belum pernah melahirkan
negara yang super power.
Sedangkan kelebihan dari sistem multi partai adalah:
- Setiap individu diberikan kesempatan
menjadi pimpinan sebuah partai politik,
- Kontrol sosial lebih banyak terjadi
dilakukan oleh partai-partai politik,
- Sistem ini memberikan alternatif banyak
pilihan pada warga negara.
C. Kepartaian
yang Dianut oleh Negara Indonesia dikaitkan dengan Sistem Pemerintahan
Presidensial.
Permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah
di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan
wakil presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi
oleh sistem pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan. Sistem
presidensial dan sistem multi partai dengan jumlah partai yang terlalu banyak
ternyata merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang
dilakukan oleh Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara
gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan kombinasi
sistem presidensial dan dwi – partai.
Di Indonesia dengan
masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin akan dibawa menuju sistem dwi –
partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah jalan tengah antara kombinasi sistem
presidensial dengan multi partai yang sederhana. Multi sistem partai yang
sederhana harus didukung oleh koalisi partai yang ramping, disiplin dan
mengikat.
Untuk
menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat dua mekanisme
yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu meningkatkan ambang batas
(PT) dan memperkecil district magnitude. Dikutip dari artikel yang
bersumber dari metrotvnews.com Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa
Cendana Kupang Nicolaus Pira Bunga mengatakan Indonesia tak cocok dengan sistem
multipartai. Hal itu dikarenakan sistem pemerintahan di Indonesia adalah
presidensil. Pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat, seharusnya lebih
kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya,
sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya dalam menata kehidupan
berdemokrasi ke arah yang lebih baik. Mantan pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana (Undana) Kupang itu mengemukakan pandangannya tersebut terkait
dengan penerapan sistem multipartai di Indonesia yang bertentangan dengan
sistem negara yang menganut paham presidensil.
Pira Bunga mengatakan penerapan ambang batas perolehan
suara di parlemen (parliamentary threshold), bukan menjadi jaminan untuk
mengurangi jumlah partai politik di Indonesia, karena aturan untuk mendirikan
partai politik di negeri ini terlalu mudah dan murah. Penerapan parliamentary
threshold sampai 10 persen pun tetap tidak akan mengurangi jumlah parpol di
Indonesia, karena parpol yang tereleminasi dari ketentuan tersebut pasti akan
mendirikan parpol baru. Perlu ada ketegasan dari elemen bangsa untuk menetapkan
jumlah parpol sebagai penyeimbang sistem pemerintahan yang menganut paham
presidensil, agar demokrasi di negeri ini dapat bertumbuh dengan baik. Jika
semua parpol telah mengakui Pancasila sebagai asas tunggal, maka sangat elegan
jika Indonesia hanya memiliki lima partai politik dengan menggunakan simbol-simbol
dari lima sila Pancasila itu sebagai lambang partainya.
Ketika Indonesia menganut sistem dwi partai
Tujuan utama penataan sistem politik Indonesia
ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil di Indonesia,
pada kenyataannya dalam sistem dwi partai negara dapat menjalankan
program-program yang mensejahterakan masyarakatnya serta dapat menampung
aspirasi dari rakyat. Contoh negara yang mengimplementasikan sistem
presidensial yang sukses adalah Amerika dimana sistem presidensial di dukung
oleh sistem dwi – partai. Kalau bangsa Indonesia ingin berkiblat kepada Amerika
di dalam menata sistem politiknya maka sistem multi partai haruslah diubah
menjadi sistem dwi – partai. Tapi solusi ini sepertinya sulit untuk
direalisasikan karena akan melawan arus demokrasi. Masyarakat Indonesia yang
sifatnya plural tidak akan bisa direpresentasikan oleh dua partai politik saja.
Jumlah partai
politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor penyumbang tidak
efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai politik yang ikut
dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan
wakil presiden terlalu besar karena melibatkan banyak parpol. Besarnya
permintaan koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi tidak dapat
berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan. Jika saja
partai politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka koalisi parpol yang
dibangun juga tidak akan menjadi besar. Presiden terpilih idealnya berasal dari
koalisi yang sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50% dari jumlah
kursi DPR dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau
tiga partai saja. Oleh karna itu Indonesia tidak ideal ketika sistem dwi partai
di implementasikan di Indonesia, banyaknya suku di Indonesia mengakibatkan
kebebasan dan persamaan hak tidak bisa disama ratakan pemerintah Indonesia,
sehingga penampungan aspirasi tidak berjalan efektik. Dalam sistem dwi partai
juga mengutaman keterikan terhadap kostitusi suatu negara.
Jadi Indonesia sebenarnya cocok dengan sistem dwi
partai, kalau Indonesia ingin tetap menganut sistem multi partai, pemilihan
yang jujur dan adil serta mengutamakan pemerintahan negara yang baik, Indonesia
dapat menjalankan sistem multi partai, juga harus mengurangi jumlah partai dan
dibarengi dengan koalisi partai yang disiplin dan mengikat, adalah solusi yang
paling memungkinkan dalam konteks Indonesia. Berapa jumlah partai politik yang
efektif dan ideal bagi bangsa Indonesia yang perlu didiskusikan lebih lanjut.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup diwakili oleh 5
partai politik saja. Sedangkan berdasarkan survey yang pernah diselenggarakan
oleh salah satu lembaga survey jumlah partai politik yang dikehendaki oleh publik
adalah 5 – 7 partai.
Lantas mekanisme seperti apa yang
diperlukan untuk mengurangi jumlah partai politik yang ada? Ada beberapa
mekanisme yang bisa diberlakukan untuk melakukan penyederhanaan partai.
Beberapa mekanisme telah dipraktekan oleh bangsa kita. Pertama adalah melakukan
restrukturisasi seperti yang dilakukan Presiden Suharto pada tahun 1974. Kedua,
memberlakukan ambang batas (threshold). ET diberlakukan pada pemilu 2004
dan 2009. sedangkan PT diberlakukan pada pemilu 2009. ET ternyata tidak efektif
untuk menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang tidak
lolos ET bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya. Sehingga
meskipun dengan menaikkan angka persentasi ET tetap saja tidak akan mengurangi
jumlah partai politik peserta pemilu. Yang efektif adalah meningkatkan angka
persentasi PT. PT lebih efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu
karena jelas “punishment” nya. Partai politik yang tidak mampu mencapai
ambang batas yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan untuk mengirimkan
wakilnya di parlemen. di beberapa negara memiliki angka persentase yang
berbeda-beda. Di Jerman ambang batasnya adalah 5%, sedangkan di Turki sebesar
10%. Dengan ambang batas 10% Turki hanya memiliki 3 atau 4 partai politik yang
memiliki wakilnya di parlemen.
Ketiga adalah dengan memperkecil
alokasi kursi di masing-masing daerah pemilihan (district magnitude).
Semakin kecil alokasi kursi di setiap DP maka peluang partai untuk mendapatkan
kursi semakin kecil. Hanya partai-partai besar saja yang berpeluang mendapatkan
kursi. Sedangkan partai kecil dan menengah akan kehilangan peluang untuk
memenangkan persaingan. Dengan demikian pengecilan alokasi kursi tersebut
merupakan alat untuk menyeleksi partai politik yang benar-benar mendapat
dukungan dari publik. Partai politik yang tidak mendapatkan suara signifikan
secara alami didorong untuk melakukan koalisi dengan partai lain atau akan mati
karena tidak mendapatkan suara dan kursi di parlemen.
Dua mekanisme penyederhanaan partai politik yang terakhir –
menaikan ambang batas dan memperkecil district magnitude – tersebut tentu akan
lebih efektif kalau keduanya dilaksanakan secara berbarengan. Dua metode
terakhir akan lebih diterima dibandingkan dengan metode yang pertama.
Dengan terciptanya sistem kepartaian
yang lebih sederhana maka akan mendorong koalisi partai politik yang lebih
ramping, disiplin dan mengikat. Bagaimana mekanisme untuk mendorong agar supaya
partai politik membangun koalisi yang disiplin dan mengikat? Tentu yang pertama
adalah memperbaiki disiplin internal partai politik masing-masing. Partai
politik harus mampu mengontrol anggota-anggotanya di parlemen untuk mengikuti
kebijakan partainya dalam mendukung pemerintahan. Jika perlu, partai politik memberikan
sanksi tegas kepada anggotanya di parlemen yang tidak mendukung program dan
kebijakan pemerintah. Kedua, fatsoen politik harus ditegakkan.
Para politisi yang ada di DPR dan kabinet harus sejalan dan seiring dengan
program dan kebijakan presiden. Pejabat partai politik yang dipilih di kabinet
seharusnya mengundurkan diri dari jabatan di masing-masing partai untuk
mengurangi conflict of interest. Ketiga, partai-partai politik di dalam koalisi
harus berkomitmen kuat untuk terus mendukung sampai dengan pemilu presiden
berikutnya.
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Negara Indonesia menganut Sistem Kepartaian Multi Partai. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah partai yang berpartisipasi dalam pemilu berjumlah lebih
dari dua partai. Di samping itu diisyaratkan pula pada pasal 6A (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian dari pasal
tersebut di dalam pemilu presiden dan wakil presiden paling sedikit terdapat
tiga partai politik. Jadi seharusnya yang cocok untuk Indonesia adalah menganut
sistem kepartaian dwi partai, mengingat sistem pemerintahan presidensial yang
diterapkan di Indonesia, dimana kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan
terpisah dengan legislatif. Pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat,
seharusnya lebih kuat kedudukan politiknya. Tetapi yang terjadi di Indonesia
justru sebaliknya, sehingga membuat Presiden menjadi kurang berdaya dalam
menata kehidupan berdemokrasi ke arah yang lebih baik.
Sistem kepartaian terdapat 3 jenis :
- Sistem Partai Tunggal, yang mana pada
sistem ini hanya ada satu partai yang berkuasa pada suatu negara, sehingga
tidak ada kompetisi partai dalam negara tersebut. Namun dalam sistem ini
partai-partai kecil tidak diberi keleluasaan.
- Sistem Dwi Partai, yang mana dalam
partai ini hanya terdapat dua partai yang bersaing, sehingga dengan adanya
sistem ini cenderung akan menghambat perkembangan partai-partai kecil.
Namun di sisi lain program-program pemerintah akan berjalan dengan baik.
- Sistem Multi Partai, yang mana pada
sistem kepartaian ini terdapat lebih dari tiga partai, sehingga
program-program pemerintah cenderung tidak berjalan dengan baik. Namun
sistem ini lebihmemberi kesempatan kepada setiap individu untuk menjadi
pemimpin.
Ada beberapa alternatif sebagai bentuk upaya
penyelesaian masalah yang terjadi di dalam sistem multi partai diantaranya :
- Mengubah sistem presidensial menjadi
sistem parlemen
- Mengubah sistem kepartaian
- Mengurangi jumlah partai politik
DAFTAR
PUSTAKA
Partono. 2010. Sistem Mulati Partai, Presidensial,dan Persoalan
Efektivitas Pemerintah .
Jakarta.
Metrotvnews. 2011. Indonesia Dinilai Tak Cocok dengan Multipartai.
Jakarta.
TrionoMuhammad. Sistem Kepartaian. Jakarta.
http://pojokmastri.blogspot.com/2009/04/bahan-ajar-kuliah-pertemuan-ke-7.html
Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar