(antara senang dan sedih)
Saya menyebutnya dusun yang
malang, dengan tanah putih yang tak pernah di injak oleh para eksekutif yang
kakuh. Betul dusun yang malang. Petama kali saya pergi di dusun kurca, saya
melihat sebuah kehidupan yang bersih dengan program pembangunan pemerintah.
Diam tak berbicara apapun, melewati jalan kecil yang penuh dengan batu tajam,
tak ada tempat berteduh, gersang, panas, serta sunyi, sebab kanan kiriku adalah
empang (tambak). Keringatku bercucuran melewati tanah kosong dengan melalui
motorku yang sedikit lagi hancur, sekitar empat kilometer dari gerbang masuknya
kuricaddi, sampai saya mendapat rumah warga, hampir semuanya jalan penuh dengan
batu tajam.
Saya tiba disana sore pukul
16.00, baju aku basah, bukan karena hujan, bukan karena percikan air tambak,
tapi karena keringatku yang banyak membasahi seluruh tubuh ku sehingga baju
yang saya pakai itu basah akibat karingatku, awalnya aku menyesal, dengan muka
kusukku yang selalu ku perlihat kepada seluruh mahluk hidup disana yang ada.
Saat saya turun dari
kendaranku dengan melihat laut lepas dengan matahari yang ingin kembali
kesarangnya. Lagi lagi saya diam, bukan karena jalan yang tadi ku lalui, bukan
kerna panas, bukan karena sunyi, tapi saya terkesan dalam hati saya katakan
sengguh indah dusun kuricaddi.
Persisir yang dipenuhi
dengan panorama indah, serta senyuman warga yang cukup ramah dengan pendatang
seperti saya. Keluhanku dengan jalan ku lalui, bajuku yang basah karna
karingatku kini semua terbayar, akibat panorama yang sangat indah serta senyum
warga yang ramah.
0 komentar:
Posting Komentar